Senin, 15 September 2014

ASNAF ZAKAT

  1.        I.  PENDAHULUAN

Zakat adalah salah satu rukun Islam yang amat vital dalam membangun kesejahteraan umat islam. Mengingat zakat memiliki peran dan fungsi sosial ekonomi yang penting, maka negara berkewajiban dan bertanggung jawab dalam pengelolaan zakat. Allah swt telah menentukan golongan-golongan tertentu yang berhak menerima zakat dan bukan diserahkan kepada pemerintah untuk membagikannya sesuai dengan kehendaknya. Oleh karena itu, zakat harus dibagikan kepada golongan-golongan yang telah ditentukan dalam surah At-Taubah ayat 60 yaitu :
انماالصدقت للفقراءوالمسكين والعملين عليهاوالمؤلفةقلوبهم وفي الرقاب والغرمين وفي سبيل الله وابن السبيل فريضة من الله والله عليهم حكيم .
Artinya :
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana”. [1]

  1.     II.  RUMUSAN MASALAH

A.    Siapa sajakah Asnaf Zakat itu?
B.     Bagaimanakah pengertian Asnaf Zakat dalam kitab-kitab Fiqih ?
                                                     
  1.  III.  PEMBAHASAN

A.    Sasaran Zakat
Para ulama dan ahli hukum Islam ketika membahas sasaran zakat atau yang dikenal dengan mustahaqqu al-zakah atau asnaf atau mustahiq selalu merujuk pada surah At-Taubah ayat 60. Ayat ini menyebutkan delapan golongan yang berhak menerima zakat.
Sayid Muhammad Rasyid Ridha berdasarkan surat At-Taubah ayat 60 membagi 8 golongan yang berhak menerima zakat tersebut kedalam 2 bagian yaitu :
1.      Kepada individu-individu. Dalam bagian ini ada 6 kelompok yang berhak menerima zakat.
a.       Golongan fakir (fuqara’) yang terlantar dalam kehidupan karena ketiadaan alat dan syarat-syaratnya.
b.      Golongan miskin (masakin) yang tindak mempunyai apa-apa.
c.       Golongan para pegawai zakat (‘amilin) yang bekerja untuk mengatur pemungutan dan bembagian zakat.
d.      Golongan orang-orang yang perlu dihibur hatinya (mu’allafati qulubuhum) yang memerlukan bantuan materi atau keuangan untuk mendekatkan hatinya kepada Islam.
e.       Golongan orang-orang yang terikat dengan hutang (gharimin) yang tidak menyanggupi untuk membebaskan diri dari hutang.
f.       Golongan orang-orang yang terlantar dalam perjalanan (ibnu al-sabil) yang memerlukan bantuan ongkos untuk kehidupan dan kediamannya dan untuk pulang kedaerah asalnya.
2.      Kepada kepentingan umum dari masyarakat dan negara. Mereka berhak menerima zakat:
a.       Untuk kebebasan dan kemerdekaan, bagi masing-masing diri (individu) atau bagi suatu golongan atau suatu bangsa yang dianamakan fi al-riqab.
b.      Untuk segala kepentingan masyarakat dan negara, bersifat pembangunan dalam segala lapangan atau pembelaan perjuangan yang dinamakan fi sabilillah.[2]
B.     Pengertian  Asnaf Zakat dalam Kitab-kitab Fiqih.
1.      Fakir dan Miskin
Fakir miskin yaitu orang-orang yang berada dalam kebutuhan dan tidak mendapatkan apa yang mereka perlukan, kebalikannya ialah orang-orang kaya dan berkecukupan. Batasnya orang yang disebut mampu yaitu memiliki harta yang melebihi keperluan pokok bagi dirinya dan anak-anaknya baik berupa sandang pangan, tempat, kendaraan, alat-alat usaha atau keperluan-keperluan lain yang tidak dapat diabaikan. Maka setiap orang yang tidak memiliki batas minimum tersebut disebut fakir dan berhak menerima zakat. Sedangkan miskin ialah orang-orang fakir yang menahan diri untuk meminta sehingga keadaannya tidak diketahui umum.[3]
Diantara dalil yang mengantarkan kepada pengertian fakir miskin ialah :

 اموالهم حق للسائل والمحروم.وفى
“Dan pada harta benda ada hak untuk orang yang meminta-minta dan orang yang tidak minta-minta”. (Surah Adz-Dzaariyaat : 19).

عن ابي هريرةرضي الله عنه ان رسول الله عليه وسلم قال ليس المسكين الذي يطوف على الناس ترده اللقمة واللقمتان والتمرة والتمرتان ولكن المسكين الذي لايجدغنى يغنيه ولايفطن به فيتصدق عليه ولايقوم فيسأ ل الناس.
“Dari Abu Hurairah ra bahwa sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : Bukanlah bernama miskin orang yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain, yang ditolak dengan sesuap makanan atau sebiji dua biji kurma. Akan tetapi orang miskin ialah orang yang (berjuang hidup) tidak memperoleh kehidupannya, tetapi tidak menceritakan nasibnya supaya diberi sedekah, dan tidak pula mau meminta-minta mengharap kasihan orang”. (HR. Bukhari).

ليس المسكين الذي ترده التمرة والتمرتان ولااللقمة ولااللقمتان انماالمسكين الذي يتعفف واقرؤاان شئتم نعني قوله لايسأ لون الناس الحافا.
“Bukanlah orang miskin itu orang yang dapat dihalau dengan sebutir dua butir kurma dan sesuap dua suap makanan. Namun, orang miskin ialah orang yang masih dapat menahan dirinya (tidak meminta-minta). Bacalah jika kamu menghendaki, yakni ucapannya : Mereka tidak merengek meminta-minta kepada manusia”. (HR. Buhkari).
Dalil-dalil diatas memberi pengertian bahwa miskin adalah al-mahrum yaitu orang yang tidak mampu akan tetapi menjaga kehormatan diri tidak mau meminta-minta. Sedangkan fakir adalah orang yang meminta-minta.[4]
2.      Amil Zakat (‘Amilin)
‘Amilin merupakan kata jamak dari mufrad ‘amilun. Menurut Imam Syafi’i ‘amilun adalah orang-orang yang diangkat untuk memungut zakat dari pemilik-pemiliknya, yaitu para sa’i dan petunjuk-petunjuk jalan yang menolong mereka, karena mereka tidak bisa memungut zakat tanpa pertolongan petunjuk tersebut.[5]
Menurut Yusuf Qardhawi ‘amilun (amil zakat) ialah mereka yang melaksanakan segala kegiatan urusan zakat mulai dari para pengumpul sampai kepada bendahara dan para penjaganya dan juga mulai dari pencatat sampai kepada penghitung yang mencatat keluar masuk zakat dan membagi kepada para mustahiknya.[6]
Dalam UU No. 38 Tahun 1999 dinyatakan bahwa “Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat”. Sedangkan yang berwenang untuk mengelola zakat adalah  Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) bentukan masyarakat. [7]
Secara konsep tugas-tugas amil zakat adalah pertama melakukan pendataan muzaki dan mustahik, melakukan pembinaan, menagih, mengumpulkan dan menerima zakat, mendoakan muzaki saat menyerahkan zakat kemudian menyusun penyelenggaraan system administrative dan manajerial dana zakat yang terkumpul tersebut. Kedua memanfaatkan data terkumpul mengenai peta mustahik dan muzaki zakat, memetakan jumlah kebutuhannya dan menentukan kiat distribusinya.
Syarat-syarat amil zakat :
a.       Hendaklah dia seorang muslim, karena zakat itu urusan orang muslim maka Islam menjadi syarat bagi segala urusan mereka.
b.      Hendaklah petugas zakat itu seorang mukallaf, yaitu orang dewasa yang sehat akal fikirannya.
c.       Petugas zakat itu hendaknya orang yang jujur, karena ia diamanati harta kaum muslimin.
d.      Memahami hukum-hukum zakat.
e.       Kemampuan untuk melaksanakan tugas.
f.       Amil zakat disyaratkan laki-laki.[8]
3.      Mu’allaf
Orang-orang mu’allaf yaitu golongan yang diusahakan merangkul dan menarik serta mengukuhkan hati mereka dalam keislaman disebabkan belum mantapnya keimanan mereka atau buat menolak bencana yang mungkin mereka lakukan terhadap kaum muslimin dan mengambil keuntungan yang mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.[9]
Dalam kajian fiqih klasik mu’allaf diklasifikasikan menjadi empat macam yaitu pertama mu’allaf muslim yaitu orang yag sudah masuk Islam tetapi niat dan imannya masih lemah. Kedua, orang yang telah masuk Islam, niat dan imannya cukup kuat dan juga terkemuka dikalangan kaumnya. Ketiga, mu’allaf yang mempunyai kemampuan untuk mengantisipasi tindak kejahatan dari kaum kafir. Keempat, mu’allaf yang mempunyai kemampuan mengantisipasi kejahatan yang dating dari kelompok pembangkang wajib zakat.[10]
4.      Al-Riqab
Riqab merupakan mereka yang masih dalam perbudakan, dan yang dimaksud oleh ayat 60 surat At-Taubah yaitu “Segala mereka yang hendak melepaskan dirinya dari ikatan riqab atau perbudakan”.
Disebutkan dalam Mutaqal Akhbar, golongan ini meliputi golongan mukatab yaitu budak yang telah dijanjikan oleh tuannya akan dilepaskan jika ia dapat membayar sejumlah tertentu dan termasuk pula budak yang belum dijanjijan untuk dimerdekakan.[11]
Dalam kajian fikih klasik yang dimaksud dengan para budak menurut jumhur ulama adalah perjanjian seorang muslim (budak belian) untuk bekerja dan mengabdi kepada mejikannya, dimana pengabdian tersebut dapat dibebaskan bila sibudak belian tersebut tidak memiliki kecukupan materi untuk membayar tebusan atas dirinya tersebut. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk memberikan zakat kepada orang itu agar dapat memerdekakan diri mereka sendiri. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :”….dan budak-budak yang kamu miliki dan menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dangan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka…” [12]
5.      Al-Gharimin
Al-gharimin adalah kata jamak dari kata mufrad al gharimu artinya orang yang berhutang dan tidak bisa melunasinya. Qardhawi menyebutkan bahwa dilihat dari segi subjek hukum al-gharimin itu ada dua yaitu 1). Berhutang untuk kepentingan kepentingan diri sendiri, 2). Berhutang untuk kepentingan masyarakat.[13]
Yusuf al-Qardlawi mengemukakan bahwa salah satu kelompok yang termasuk al-gharimin adalah kelompok orang yang terkena bencana dan musibah, sehingga mutlak adanya kebutuhan yang mendesak untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Dalam sebuah riwayat dikemukakan oleh Imam Mujahid, ia berkata :”Tiga kelompok yang termasuk mempunyain utang; orang yang hartanya terbawa banjir, orang yang hartanya musnah terbakar dan orang yang memiliki keluarga tetapi tidak mempunyai kecukupan harta sehingga terpaksa berhutang untuk menafkahkan keluarga itu”. [14]
6.      Fisabilillah
Sabil ialah jalan. Sabilillah ialah jalan yang baik  berupa kepercayaan maupun berupa amal yang menyampaikan kita kepada ridha Allah.[15] Dan jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sabilillah ialah berperang dan jatah sabilillah itu diberikan kepada tentara sukarela yang tidak mendapatkan gaji dari pemerintah. Sebagaimana disebutkan dari hadits Rasulullah yang artinya :”Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang yaitu yang berperang pada jalan Allah……”.[16]
7.      Ibnu As-Sabil
Ibnu sabil menurut jumhur ulama adalah kiasan untuk musafir (perantau) yaitu orang yang melakukan perjalanan dari daerah satu kedaerah yang lain. Ibnu sabil dalam Al-Quran diilistrasikan sebagai suatu bentuk aktivitas yang sangat penting karena Islam senantiasa merangsang untuk melakukan perjalanan dan bepergian dengan beragam motivasi yang yang ditunjukkan Al-Quran diantaranya : bepergian untuk mencari rezeki, perjalalan untuk mencari ilmu, perjalanan untuk melaksanakan haji ke Baitullah.[17]

  1.  IV.   KESIMPULAN

Pembahasan kontemporer saat ini pada akhirnya mengarah kepada pengertian bahwa harta terkumpul zakat tidak diarahkan sebagai hak milik pribadi setiap golongan, tetapi diarahkan kepada kepemilikan bersama dari delapan asnaf. Maka bentuk dari pendistribusian dan pemaknaan delapan golongan tentu akan mengikuti maslahat kelompok mustahik zakat yang ada.

  1.     V.  PENUTUP

Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Allah yang telah memberikan Rahmad, Taufiq, Hidayah serta Inayahnya sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini, semoga uraian-uraian yang kami sampaikan dalam makalah ini bermanfaat bagi kami sendiri dan para pembacanya. Amin
Dan kami sadar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, dan masih banyak lagi kakurangan dan kekeliruan dalam makalah kami ini. Maka dari itu kami mohon kritikan dan saran yang membangun bagi kami demi kesempurnaan makalah ini dan selanjutnya. Kami  berdo’a kepada Allah, semoga Allah meridhoi makalah kami ini. Amin




DAFTAR PUSTAKA

Asnaini, 2008, Zakat Produktif Dalam Perspektif Hukum Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sabiq, Sayyid, 1998, Fikih Sunnah, Jilid 3, PT. Al Ma’arif Bandung, Bandung.
Mufraini, Arief, 2006, Akuntansi dan Manajemen Zakat : Mengkomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan, Kencana, Jakarta.
Qardawi, Yusuf, 2010, Hukum Zakat, Pustaka Lintera AntarNusa, Bogor.
Ash-Shiddieqy, Hasbi, 2009, Pedoman Zakat, Pustaka Rizki Putra, Semarang.


                [1] M. Arief Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat : Mengkomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan , hal. 180

                [2] Asnaini, Zakat Produktif Dalam Perspektif Hukum Islam, hal. 47-48
                [3] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, cet. Ke-6, hal. 86
[4] Ibid,Asnaini,hal. 50-52
[5] Ibid, Asnaini, hal. 54
[6] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, hal. 545
[7] M. Arief Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat : Mengkomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan , hal. 195
[8] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, hal. 551-554
[9] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, cet. Ke-6, hal. 94
[10] M. Arief Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat : Mengkomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan , hal. 204
[11] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, hal. 161
                [12] Ibid, M. Arief Mufraini, hal. 200-201
                [13] Asnaini, Zakat Produktif Dalam Perspektif Hukum Islam, hal. 57
                [14] M. Arief Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat : Mengkomunikasikan Kesadaran dan Membangun                   Jaringan , hal. 207
                [15]M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, hal. 165
                [16] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, cet. Ke-6, hal. 101
                [17] Ibid, M. Arief Mufraini, hal. 212

Tidak ada komentar:

Posting Komentar