- I. PENDAHULUAN
Zakat adalah salah satu rukun Islam yang amat vital dalam membangun kesejahteraan umat
islam. Mengingat zakat memiliki peran dan fungsi sosial ekonomi yang penting,
maka negara berkewajiban dan bertanggung jawab dalam pengelolaan zakat.
Allah swt telah menentukan golongan-golongan tertentu
yang berhak menerima zakat dan bukan diserahkan kepada pemerintah untuk
membagikannya sesuai dengan kehendaknya. Oleh karena itu, zakat harus dibagikan
kepada golongan-golongan yang telah ditentukan dalam surah At-Taubah ayat 60
yaitu :
انماالصدقت
للفقراءوالمسكين والعملين عليهاوالمؤلفةقلوبهم وفي الرقاب والغرمين وفي سبيل الله
وابن السبيل فريضة من الله والله عليهم حكيم .
Artinya :
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu hanyalah bagi orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana”. [1]
- II. RUMUSAN MASALAH
A. Siapa
sajakah Asnaf Zakat itu?
B. Bagaimanakah
pengertian Asnaf Zakat dalam kitab-kitab Fiqih ?
- III. PEMBAHASAN
A. Sasaran
Zakat
Para ulama dan
ahli hukum Islam ketika membahas sasaran zakat atau yang dikenal dengan mustahaqqu
al-zakah atau asnaf atau mustahiq selalu merujuk pada surah
At-Taubah ayat 60. Ayat ini menyebutkan delapan golongan yang berhak menerima
zakat.
Sayid Muhammad
Rasyid Ridha berdasarkan surat At-Taubah ayat 60 membagi 8 golongan yang berhak
menerima zakat tersebut kedalam 2 bagian yaitu :
1. Kepada
individu-individu. Dalam bagian ini ada 6 kelompok yang berhak menerima zakat.
a. Golongan
fakir (fuqara’) yang terlantar dalam kehidupan karena ketiadaan alat dan
syarat-syaratnya.
b. Golongan
miskin (masakin) yang tindak mempunyai apa-apa.
c. Golongan
para pegawai zakat (‘amilin) yang bekerja untuk mengatur pemungutan dan
bembagian zakat.
d. Golongan
orang-orang yang perlu dihibur hatinya (mu’allafati qulubuhum) yang
memerlukan bantuan materi atau keuangan untuk mendekatkan hatinya kepada Islam.
e. Golongan
orang-orang yang terikat dengan hutang (gharimin) yang tidak menyanggupi
untuk membebaskan diri dari hutang.
f. Golongan
orang-orang yang terlantar dalam perjalanan (ibnu al-sabil) yang
memerlukan bantuan ongkos untuk kehidupan dan kediamannya dan untuk pulang
kedaerah asalnya.
2. Kepada
kepentingan umum dari masyarakat dan negara. Mereka berhak menerima zakat:
a. Untuk
kebebasan dan kemerdekaan, bagi masing-masing diri (individu) atau bagi suatu
golongan atau suatu bangsa yang dianamakan fi al-riqab.
b. Untuk
segala kepentingan masyarakat dan negara, bersifat pembangunan dalam segala
lapangan atau pembelaan perjuangan yang dinamakan fi sabilillah.[2]
B. Pengertian Asnaf Zakat dalam Kitab-kitab Fiqih.
1. Fakir
dan Miskin
Fakir miskin
yaitu orang-orang yang berada dalam kebutuhan dan tidak mendapatkan apa yang
mereka perlukan, kebalikannya ialah orang-orang kaya dan berkecukupan. Batasnya
orang yang disebut mampu yaitu memiliki harta yang melebihi keperluan pokok
bagi dirinya dan anak-anaknya baik berupa sandang pangan, tempat, kendaraan,
alat-alat usaha atau keperluan-keperluan lain yang tidak dapat diabaikan. Maka
setiap orang yang tidak memiliki batas minimum tersebut disebut fakir dan
berhak menerima zakat. Sedangkan miskin ialah orang-orang fakir yang menahan
diri untuk meminta sehingga keadaannya tidak diketahui umum.[3]
Diantara dalil
yang mengantarkan kepada pengertian fakir miskin ialah :
اموالهم حق للسائل والمحروم.وفى
“Dan pada harta benda
ada hak untuk orang yang meminta-minta dan orang yang tidak minta-minta”.
(Surah Adz-Dzaariyaat : 19).
عن ابي هريرةرضي
الله عنه ان رسول الله عليه وسلم قال ليس المسكين الذي يطوف على الناس ترده اللقمة
واللقمتان والتمرة والتمرتان ولكن المسكين الذي لايجدغنى يغنيه ولايفطن به فيتصدق
عليه ولايقوم فيسأ ل الناس.
“Dari Abu Hurairah ra
bahwa sesungguhnya Rasulullah saw bersabda : Bukanlah bernama miskin orang yang
berkeliling meminta-minta kepada orang lain, yang ditolak dengan sesuap makanan
atau sebiji dua biji kurma. Akan tetapi orang miskin ialah orang yang (berjuang
hidup) tidak memperoleh kehidupannya, tetapi tidak menceritakan nasibnya supaya
diberi sedekah, dan tidak pula mau meminta-minta mengharap kasihan orang”.
(HR. Bukhari).
ليس المسكين الذي
ترده التمرة والتمرتان ولااللقمة ولااللقمتان انماالمسكين الذي يتعفف واقرؤاان
شئتم نعني قوله لايسأ لون الناس الحافا.
“Bukanlah orang miskin
itu orang yang dapat dihalau dengan sebutir dua butir kurma dan sesuap dua suap
makanan. Namun, orang miskin ialah orang yang masih dapat menahan dirinya
(tidak meminta-minta). Bacalah jika kamu menghendaki, yakni ucapannya : Mereka
tidak merengek meminta-minta kepada manusia”.
(HR. Buhkari).
Dalil-dalil diatas memberi pengertian
bahwa miskin adalah al-mahrum yaitu orang yang tidak mampu akan tetapi
menjaga kehormatan diri tidak mau meminta-minta. Sedangkan fakir adalah orang
yang meminta-minta.[4]
2. Amil
Zakat (‘Amilin)
‘Amilin
merupakan kata jamak dari mufrad ‘amilun. Menurut Imam Syafi’i ‘amilun
adalah orang-orang yang diangkat untuk memungut zakat dari pemilik-pemiliknya,
yaitu para sa’i dan petunjuk-petunjuk jalan yang menolong mereka, karena mereka
tidak bisa memungut zakat tanpa pertolongan petunjuk tersebut.[5]
Menurut Yusuf
Qardhawi ‘amilun (amil zakat) ialah mereka yang melaksanakan segala kegiatan
urusan zakat mulai dari para pengumpul sampai kepada bendahara dan para
penjaganya dan juga mulai dari pencatat sampai kepada penghitung yang mencatat
keluar masuk zakat dan membagi kepada para mustahiknya.[6]
Dalam UU No. 38
Tahun 1999 dinyatakan bahwa “Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan terhadap pengumpulan dan
pendistribusian serta pendayagunaan zakat”. Sedangkan yang berwenang untuk
mengelola zakat adalah Badan Amil Zakat
(BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) bentukan
masyarakat. [7]
Secara konsep
tugas-tugas amil zakat adalah pertama melakukan pendataan muzaki dan
mustahik, melakukan pembinaan, menagih, mengumpulkan dan menerima zakat,
mendoakan muzaki saat menyerahkan zakat kemudian menyusun penyelenggaraan
system administrative dan manajerial dana zakat yang terkumpul tersebut. Kedua
memanfaatkan data terkumpul mengenai peta mustahik dan muzaki zakat, memetakan
jumlah kebutuhannya dan menentukan kiat distribusinya.
Syarat-syarat amil
zakat :
a. Hendaklah
dia seorang muslim, karena zakat itu urusan orang muslim maka Islam menjadi
syarat bagi segala urusan mereka.
b. Hendaklah
petugas zakat itu seorang mukallaf, yaitu orang dewasa yang sehat akal
fikirannya.
c. Petugas
zakat itu hendaknya orang yang jujur, karena ia diamanati harta kaum muslimin.
d. Memahami
hukum-hukum zakat.
e. Kemampuan
untuk melaksanakan tugas.
f. Amil
zakat disyaratkan laki-laki.[8]
3. Mu’allaf
Orang-orang
mu’allaf yaitu golongan yang diusahakan merangkul dan menarik serta mengukuhkan
hati mereka dalam keislaman disebabkan belum mantapnya keimanan mereka atau
buat menolak bencana yang mungkin mereka lakukan terhadap kaum muslimin dan
mengambil keuntungan yang mungkin dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.[9]
Dalam kajian
fiqih klasik mu’allaf diklasifikasikan menjadi empat macam yaitu pertama
mu’allaf muslim yaitu orang yag sudah masuk Islam tetapi niat dan imannya masih
lemah. Kedua, orang yang telah masuk Islam, niat dan imannya cukup kuat
dan juga terkemuka dikalangan kaumnya. Ketiga, mu’allaf yang mempunyai
kemampuan untuk mengantisipasi tindak kejahatan dari kaum kafir. Keempat,
mu’allaf yang mempunyai kemampuan mengantisipasi kejahatan yang dating dari
kelompok pembangkang wajib zakat.[10]
4. Al-Riqab
Riqab merupakan
mereka yang masih dalam perbudakan, dan yang dimaksud oleh ayat 60 surat
At-Taubah yaitu “Segala mereka yang hendak melepaskan dirinya dari
ikatan riqab atau perbudakan”.
Disebutkan dalam
Mutaqal Akhbar, golongan ini meliputi golongan mukatab yaitu
budak yang telah dijanjikan oleh tuannya akan dilepaskan jika ia dapat membayar
sejumlah tertentu dan termasuk pula budak yang belum dijanjijan untuk
dimerdekakan.[11]
Dalam kajian
fikih klasik yang dimaksud dengan para budak menurut jumhur ulama adalah
perjanjian seorang muslim (budak belian) untuk bekerja dan mengabdi kepada
mejikannya, dimana pengabdian tersebut dapat dibebaskan bila sibudak belian
tersebut tidak memiliki kecukupan materi untuk membayar tebusan atas dirinya
tersebut. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk memberikan zakat kepada
orang itu agar dapat memerdekakan diri mereka sendiri. Sebagaimana disebutkan
dalam firman Allah :”….dan budak-budak yang kamu miliki dan menginginkan
perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dangan mereka, jika kamu mengetahui
ada kebaikan pada mereka…” [12]
5. Al-Gharimin
Al-gharimin
adalah kata jamak dari kata mufrad al gharimu artinya orang yang
berhutang dan tidak bisa melunasinya. Qardhawi menyebutkan bahwa dilihat dari
segi subjek hukum al-gharimin itu ada dua yaitu 1). Berhutang untuk kepentingan
kepentingan diri sendiri, 2). Berhutang untuk kepentingan masyarakat.[13]
Yusuf al-Qardlawi
mengemukakan bahwa salah satu kelompok yang termasuk al-gharimin adalah
kelompok orang yang terkena bencana dan musibah, sehingga mutlak adanya
kebutuhan yang mendesak untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya. Dalam
sebuah riwayat dikemukakan oleh Imam Mujahid, ia berkata :”Tiga kelompok
yang termasuk mempunyain utang; orang yang hartanya terbawa banjir, orang yang
hartanya musnah terbakar dan orang yang memiliki keluarga tetapi tidak
mempunyai kecukupan harta sehingga terpaksa berhutang untuk menafkahkan
keluarga itu”. [14]
6. Fisabilillah
Sabil ialah
jalan. Sabilillah ialah jalan yang baik berupa kepercayaan maupun berupa amal yang
menyampaikan kita kepada ridha Allah.[15]
Dan jumhur ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sabilillah ialah
berperang dan jatah sabilillah itu diberikan kepada tentara sukarela yang tidak
mendapatkan gaji dari pemerintah. Sebagaimana disebutkan dari hadits Rasulullah
yang artinya :”Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang
yaitu yang berperang pada jalan Allah……”.[16]
7. Ibnu
As-Sabil
Ibnu sabil
menurut jumhur ulama adalah kiasan untuk musafir (perantau) yaitu orang yang
melakukan perjalanan dari daerah satu kedaerah yang lain. Ibnu sabil dalam
Al-Quran diilistrasikan sebagai suatu bentuk aktivitas yang sangat penting
karena Islam senantiasa merangsang untuk melakukan perjalanan dan bepergian
dengan beragam motivasi yang yang ditunjukkan Al-Quran diantaranya : bepergian
untuk mencari rezeki, perjalalan untuk mencari ilmu, perjalanan untuk
melaksanakan haji ke Baitullah.[17]
- IV. KESIMPULAN
Pembahasan
kontemporer saat ini pada akhirnya mengarah kepada pengertian bahwa harta
terkumpul zakat tidak diarahkan sebagai hak milik pribadi setiap golongan,
tetapi diarahkan kepada kepemilikan bersama dari delapan asnaf. Maka
bentuk dari pendistribusian dan pemaknaan delapan golongan tentu akan mengikuti
maslahat kelompok mustahik zakat yang ada.
- V. PENUTUP
Dengan mengucapkan rasa syukur kepada
Allah yang telah memberikan Rahmad, Taufiq, Hidayah serta Inayahnya sehingga
kami bisa menyelesaikan makalah ini, semoga uraian-uraian yang kami sampaikan
dalam makalah ini bermanfaat bagi kami sendiri dan para pembacanya. Amin
Dan kami sadar bahwa makalah kami ini
jauh dari kata sempurna, dan masih banyak lagi kakurangan dan kekeliruan dalam
makalah kami ini. Maka dari itu kami mohon kritikan dan saran yang membangun
bagi kami demi kesempurnaan makalah ini dan selanjutnya. Kami berdo’a kepada Allah, semoga Allah meridhoi
makalah kami ini. Amin
DAFTAR
PUSTAKA
Asnaini, 2008, Zakat
Produktif Dalam Perspektif Hukum Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Sabiq,
Sayyid, 1998, Fikih Sunnah, Jilid 3, PT. Al Ma’arif Bandung, Bandung.
Mufraini, Arief,
2006, Akuntansi dan Manajemen Zakat : Mengkomunikasikan Kesadaran dan
Membangun Jaringan, Kencana, Jakarta.
Qardawi,
Yusuf, 2010, Hukum Zakat, Pustaka Lintera AntarNusa, Bogor.
Ash-Shiddieqy,
Hasbi, 2009, Pedoman Zakat, Pustaka Rizki Putra, Semarang.
[1] M. Arief Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat :
Mengkomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan , hal. 180
[4] Ibid,Asnaini,hal. 50-52
[5] Ibid, Asnaini, hal. 54
[6] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, hal. 545
[7] M. Arief Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat :
Mengkomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan , hal. 195
[8] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, hal. 551-554
[9] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, cet. Ke-6, hal. 94
[10] M. Arief Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat :
Mengkomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan , hal. 204
[11] M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, hal. 161